Wednesday, September 18, 2013

Sejumlah Langkah Pertama Untuk Mendapatkan Hak-hak Perempuan

Sejak Magna Carta sampai Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, persoalan-persoalan mengenai kebebasan perorangan, usulan untuk mendapatkan hak-hak serta kemerdekaan setiap manusia sudah menjadi penyebab pertikaian utama di lingkungan bangsa-bangsa di Eropa dan akhirnya di Amerika Utara. Perlahan-lahan, kekuasaan raja dan ratu sedang dikompromikan, dan hak-hak orang kebanyakan sedang diakui. Inggris mendirikan sebuah kerajaan yang konstitusional dengan sebuah Parlemen terpilih, dan menjelang akhir abad ke-18 baik di Amerika Serikat dan Prancis berdiri sebuah republik yang mandiri. Demokrasi tampak mulai bangkit. Manusia sudah diberi hak untuk memberikan suaranya dan mereka menggunakan hak tersebut.

Pada waktu itu, semua hak demokratis yang diperoleh dengan sulit yang sedang diberikan hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Seakan-akan, perempuan tidak penting, atau yang lebih buruk, bahwa mereka semata-mata merupakan hak milik laki-laki. Teori konvensional yang beredar di Eropa—dan bahkan di banyak bagian dari dunia ini—berbunyi bahwa “tempat perempuan adalah di rumah” dan tidak di dalam ruang-ruang kehidupan publik atau di mana kebijakan publik diberlakukan secara hukum.
Sebelum abad ke18 berakhir, timbul kesadaran yang semakin meningkat bahwa ada ketidakadilan sedemikian rupa sehingga, dari segi hukum, perempuan tidak dianggap setara dengan laki-laki. Tahun 1789 di Prancis, Olympe de Gouges menerbitkan Declaration of the Rights of Woman, suatu reaksi terhadap apa yang dianggap telah dihilangkan dari Declaration of the Rights of Man yang didesakkan oleh para revolusioner Revolusi Prancis. Sebuah petisi yang disodorkan kepada Dewan Nasional Prancis bahwa perempuan seharusnya mendapat hak pilih pada tahun yang sama ditolak, dan faktanya, kitab undang-undang yang diumumkan dengan resmi di bawah pemerintahan Napoleon Bonaparte (1769-1821) mengabaikan kaum perempuan Prancis untuk memiliki banyak hak yang sebelumnya mereka nikmati.
Pada waktu yang bersamaan, seorang pramusiwi berkebangsaan Inggris yang bernama Mary Wollstonecraft (1759-1797), yang diilhami oleh Revolusi Prancis dan protes Olympe de Gouges, menerbitkan A Vindication of the Rights of Women, yang tetap menjadi naskah penting dalam gerakan hak-hak perempuan. Nona Wollstonecraft memercayai bahwa gadis-gadis dan perempuran dewasa harus mendapat pendidikan yang setara, bahwa mereka harus diizinkan untuk memiliki perkerjaan selain sebagai pembantu rumah tangga dan pramusiwi, dan bahwa mereka harus diizinkan untuk menjadi dokter dan memiliki bisnis sendiri. Hak-hak perempuan, yang sudah lama diingkari, menjadi persoalan yang hangat dibicarakan, sebuah masalah yang tidak akan berlalu.
Kemajuan berjalan lambat pada abad ke-19, meskipun perempuan diberi jalan masuk yang lebih besar ke dalam dunia pendidikan. Di Amerika Serikat, Susan B. Anthony (1820-1906) adalah seorang pemimpin gerakan anti-perbudakan dan gerakan hak pilih perempuan. Walaupun demikian, belum sampai abad ke-20, perempuan sudah boleh menggunakan salah satu hak yang paling mendasar dalam masyarakat yang demokratis: hak untuk memberikan suara. Perempuan Australia memperoleh haknya pada tahun 1902, perempuan Inggris tahun 1918, dan perempuan Amerika Serikat, melalui Amandemen Kesembilan Belas atas Undang-undang Dasar Amerika Serikat, 26 Agustus 1920, meskipun Wilayah Wyoming sudah mengesahkan hukum hak pilih perempuan pada tahun 1869. Perempuan Prancis akhirnya diberi hak untuk memilih pada tahun 1945.

0 komentar:

Post a Comment