Tuesday, November 13, 2012

Reformasi


Kekuasaan yang tidak dikendalikan acap kali melahirkan korupsi, dan demikian juga yang terjadi dengan Gereja. Meskipun ada orang-orang gerejani yang saleh di intelektual, pelecehan agama meluas, sampai pada penjualan surat pengampunan dosa–ketika orang beragama diiming-imingi janji bahwa apabila mereka memberikan sejumlah uang kepada Gereja, mereka akan lolos dari murka dan penghukuman Tuhan. Semasa Pengadilan oleh Gereja Katolik Romawi di Spanyol, para penganut agama yang keyakinannya dinilai menyimpang dari kebijakan Gereja, akan disiksa dan dibakar.’
Menjelang abad ke-14, orang-orang saleh yang layak dihormati, seperti John Wycliffe (1320-1384) di Inggris dan John (Jan) Huss (1374-1415) di Praha, mulai berani membuka mulut untuk menentang praktek-praktek Gereja, dan sebuah arus ketidakpuasan yang terpendam muncul di kalangan Gereja sendiri. Situasi ini akhirnya mencapai puncaknya ketika pada 31 Oktober 1517, ketika seorang anggota ordo Augustine yang bernama Martin Luther (1483-1546) menempelkan sebuah dokumen di pintu masuk gereja istana di Wittenberg, Jerman. Surat ini, yang diberi judul The 95 Theses Against the Abuse of Indulgences [‘Sembilan Puluh Lima Dalil yang Menentang Surat Pengampunan Dosa’] menuduh Uskup Agung Albrecht dari Mainz telah melakukan kecurangan dengan menjual surat pengampunan dosa (diduga keras, uang hasil penjualan itu ia kantongi sendiri). Luther juga mengutuk praktek-praktek penjualan surat pengampunan dosa pada umumnya. Ia berharap dalil itu akan memacu debat yang sehat. Namun, ia justru dituduh sebagai bidaah (menentang ajaran Gereja). Luther dikucilkan dari Gereja Katolik pada tahun 1521.
Kaum Protestan Awal
Luther mendapatkan dukungan di Jerman dan Swiss. Ia kemudian mendirikan gereja sendiri, yaitu Lutheran. Kelompok lainnya, seperti Quaker, Anabaptis, Mennonit, dan Hussit Moravia, bertindak serupa. Setelah tahun 1529, semua aliran itu disebut sebagai Gereja Protestan. Ulrich Zwingli memimpin Reformasi di Swiss. Pandangannya yang lebih ekstrem menyebabkan pecahnya perang saudara yang menewaskan Zwingli sendiri. Zwingli diikuti oleh John Calvin yang memperoleh pengikut di Perancis, Jerman, dan Belanda. Calvin melembagakan Reformasi di Swiss dan memengaruhi John Knox untuk melakukan Reformasi di Skotlandia. Beberapa kelompok mengumpulkan semua harta bendanya untuk membentuk komunitas, yang kemudian mengambil alih kota.
Tahun-tahun Penting
1517
95 Tesis Luther ditempelkan di Wittenberg, Jerman
1522
Alkitab terjemahan Luther diterbitkan di Jerman
1523
Program Reformasi Zwingli dilakukan di Swiss
1530-an
Gerakan dan pemberontakan sosial kaum Protestan di Jerman
1534
Inggris memisahkan diri dari Gereja Roma
1540-an
Kalvin mendirikan Gereja Protestan di Jenewa, Swiss
1545
Konsili Trente pertama. Kontrareformasi dimulai
1562-1598
Perang Huguenot di Perancis
1566
Gereja Kalvinis didirikan di Belanda
1580-an
Meningkatnya ketegangan antara para penguasa Eropa
1618
Perang Tiga Puluh Tahun dimulai
Kontrareformasi
Pada tahun 1522, Paus Adrianus VI mengakui bahwa ada banyak masalah dalam Gereja Katolik Roma. Namun setelah kematiannya, tidak ada yang dilakukan hingga tahun 1534, ketika Paulus III menjadi Paus. Ini adalah tahun ketika Raja Henry VIII dari Inggris memisahkan diri dari Roma. Paulus kemudian mulai melakukan pembaharuan dalam Gereja yang dikenal senagai gerakan Kontrareformasi. Ia mulai dengan mendorong pengajaran dan penyebaran agama melalui sebuah ordo biarawan Italia yang disebut Kapusin. Enam tahun kemudian, ia menyetujui pendirian Serikat Yesuit yang didirikan oleh Ignatius Layola, guna menyebarkan agama Katolik. Ia juga menyelenggarakan Konsili Trente pada tahun 1545 untuk menetapkan pembaharuan Gereja lebih lanjut. Konsili Trente memutuskan untuk memperkuat kaul kemiskinan dan mendirikan berbagai lembaga pendidikan Gereja, seperti seminari, guna mendidik para biarawan, biarawati, dan imam. Semua ini mengarah pada kebangkitan kembali keyakinan Katolik dan perlawanan aktif terhadap kaum Protestan.
Namun, perselisihan agama di Eropa berkembang menjadi masalah politik ketika Raja Philip II dari Spanyol berusaha memulihkan agama Katolik di Inggris, Perancis, dan Belanda dengan cara kekerasan. Para penguasa lainnya kemudian harus memutuskan berada di pihak mana. Perang saudara pecah di Perancis, sementara kaum Protestan Belanda memberontak melawan kekuasaan Spanyol yang Katolik. Akhirnya, pecah Perang Tiga Puluh Tahun pada tahun 1618.


0 komentar:

Post a Comment