Wednesday, January 16, 2013

Perdagangan dengan Cina (1700-1830)

Perdagangan dengan Cina menguntungkan. Namun, pemerintah Cina tidak menginginkan masuknya pengaruh “orang barbar”. Pedagang Eropa harus mencari jalan lain untuk berdagang.
Sepanjang abad ke-18, sutera, katun, teh, pernis, dan porselen Cina sangat dihargai di Eropa, tetapi berharga mahal dan persediannya terbatas. Para pedagang Portugis, Inggris, Italia, dan Belanda berusaha memperluas perdagangan dengan Cina. Namun, para kaisar Cina yang mengontrol semua kontak antara rakyat dan orang asing tidak tertarik untuk membentuk hubungan. Qianlong (1711-1795), yang berkuasa selama 60 tahun, sejak 1735, adalah seorang filsuf-kaisar yang mendukung kesenian, penulisan puisi, dan mendirikan perpustakaan, tidak mau berhubungan dengan “orang barbar”. Persoalan bagi orang Eropa adalah mereka harus membayar semua barang dengan perak karena pedagang Cina tidak diperkenankan menukar barang asing dengan barang buatan Cina. Selain itu, orang Eropa hanya diizinkan berdagang di Guangzhou (Canton), di mana mereka dibatasi di gedung berbenteng, dan berdagang melalui perantara Cina. Para pedagang Eropa saling bersaing. Mereka berusaha mendapat barang terbaik Cina dan mengirimnya ke Eropa secepat mungkin untuk mendapatkan harga tinggi.
Perdagangan Opium (Candu)
Orang Eropa kemudian mencari cara lain untuk berdagang. Opium telah lama digunakan di Cina untuk pengobatan. Para pedagang menjalin hubungan dengan para penjual obat Cina, menjual opium dalam jumlah besar (5.000 barel per tahun selama 1820-an) dari negeri seperti Burma (sekarang Myanmar). Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan barang-barang berharga Cina untuk dijual ke Eropa. Perdagangan meningkat pesat pada akhir abad ke-18. Pemerintah Dinasti Qing (Manchu) berusaha menghentikannya. Pada 1830-an, penggunaan opium menyebar ke seluruh Cina, membuat orang-orang menjadi malas, merusak masyarakat dan perekonomian, serta membuat Cina mengalami kerugian besar.
Dinasti Qing (Manchu)
Para kaisar Qing tidak tertarik membentuk perdagangan karena mereka memiliki masalah yang lebih mendesak di dalam negeri. Tahun-tahun perdamaian dan kemakmuran telah mendorong peningkatan jumlah penduduk (400 juta orang pada tahun 1800) sehingga terjadi kekurangan bahan pangan. Pajak tinggi, korupsi meningkat, sementara penduduk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dinasti Qing sangat konservatif, terkucil, dan keras kepala. Akibatnya, terjadi protes dan pemberontakan, kerap diorganisasi oleh berbagai perkumpulan rahasia yang memiliki ambisi politik. Sekte Teratai Putih mengobarkan pemberontakan petani yang berlangsung dari tahun 1795 hingga 1804. Pemberontakan ini menyebabkan melemahnya rasa hormat rakyat terhadap Dinasti Qing. Sejumlah bangsa asing, yaitu Rusia, Jepang, Tibet, dan minoritas lainnya, serta orang Eropa di atas kapal layar cepat dan kapal meriam mereka, juga menggerogoti Cina.
Camput Tangan Orang Cina
Para kaisar Qing dibesarkan dengan keyakinan bahwa Cina adalah pusat dunia. Mereka melukiskan negeri mereka sebagai “Kerajaan Tengah, yang dikelilingi oleh bangsa-bangsa barbar”. Ketika seorang Duta Besar Inggris, Lord Macartney, pergi ke Beijing pada tahun 1793, Kaisar Qianlong menolak membahas perdagangan. Sejak itu, orang asing memutuskan untuk mencapai tujuan dengan cara lain. Perdagangan opium pun ditingkatkan. Pada tahun 1800, banyak orang Cina menghadapi kesulitan dalam segala segi kehidupan. Mereka mengisap opium seperi mengisap tembakau sebagai tempat pelarian. Ketika orang Cina berusaha menghentikan perdagangan opium pada tahun 1839, Inggris melawannya. Bahkan, kontrol Cina atas pasokan teh dunia mulai mendekati akhir. Selama era 1830-an, orang Inggris bernama Robert Fortune mencuri beberapa tanaman teh ketika mengunjungi Cina. Ia membawanya ke India dan mendirikan perkebunan teh di sana untuk menyaingi perkebunan teh di Cina.

0 komentar:

Post a Comment