Wednesday, January 16, 2013

Masa Kejayaan Napoleon Bonaparte

Sejak kurun waktu pemerintahan para kaisar sampai era Adolf Hitler, tak ada seorang pun, bahkan juga tidak kaisar-kaisar Romawi Suci, yang mendominasi Eropa dengan begitu menyeluruh seperti Napoleon Bonaparte (1769-1821).
Awal Karier Napoleon
Selama jangka waktu 10 tahun, antara tahun 1789 dan 1799, Prancis pada hakikatnya diperintah oleh penguasa, yang tidak menjalankan undang-undang, atau oleh komite. Semasa jangka waktu tersebut, Napoleon serta merta menjadi jenderal muda yang cepat menanjak dalam Angkatan Darat Republik Prancis dan ia dianggap menjadi tokoh politik yang kuat yang harus bangkit pertama kali di Prancis setelah kegamangan yang mengikuti revolusi. Napoleon, yang sudah meraih serangkaian kemenangan yang cemerlang melawan pasukan Austria di Italia, menyerbu Mesir pada tahun 1798 dan maju menuju Kairo dan kemudian Yerusalem. Peristiwa-peristiwa ini amat mengilhami rakyat Prancis, dan ketika Napoleon kembali ke Prancis pada tahun 1799, ia diakui sebagai pahlawan nasional.
Sementara itu, selama satu dekade Prancis tidak memiliki pemimpin tunggal. Sedangkan Directoire, lima serangkai yang memerintah negara itu, bersikap lemah, tidak efektif, dan hampir tumbang. Maka, Napoleon adalah pilihan yang wajar untuk memimpin negara tersebut. Nopember 1799, Directoire digantikan dengan Consulate di mana Napoleon menjadi konsul pertama. Kendati ia penguasa atas pemerintahan Prancis, ia terus memimpikan sebuah kekaisaran sejaya Kekaisaran Charlemagne (bahasa Prancis: Charles yang Agung).
Masa Keemasan Napoleon
Napoleon menjalankan tugasnya sebagai konsul pertama sampai tahun 1804. Sebagai dampak dari popularitasnya yang sangat besar, bangsa Prancis—yang telah menggunlingkan raja-raja Bourbon pada tahun 1792—mengizinkan dia untuk mengubah bentuk Consulate menjadi sebuah kekaisaran. Napoleon mengundang Paus untuk memahkotai dia sebagai Kaisar Prancis di Katedral Norte Dame, Paris, pada 18 Mei 1804. Walaupun demikian, ketika momen klimaks itu tiba, Napoleon mengambil mahkota itu dari tangan Paus dan menaruhkan sendiri mahkota itu di atas kepalanya. Menurutnya, tidak ada seorang pun yang berhak melakukannya.
Napoleon serta merta membangun Kekaisaran Prancis. Ia sudah menguasai Prancis, Belanda, dan Italia, namun ditentang oleh Austria, Inggris, Rusia, dan Prusia. Ia merancang sebuah penyerbuan ke Inggris, di mana ia dipaksa untuk membatalkannya, tetapi ketika ia menghadapi pasukan Angkatan Darat Rusia dan Austria di Austerlitz, bulan Desember 1805, adalah taktik-taktiknya yang tampak pada hari itu. Napoleon terus meraih serangkaian kemenangan yang menakjubkan yang mencakup penaklukkan pasukan Prusia di Jena pada tahun 1806 dan pasukan Austria di Friedland, tahun 1807. Sejauh itu, Napoleon sudah mencapai sasarannya untuk menguasai sebuah wilayah di Eropa yang bahkan lebih luas dari Kekaisaran Charlemagne dengan cara yang efektif. Ia kemudian mendominasi Prancis, Polandia, Italia, dan semua wilayah diantaranya, termasuk Austria dan seantero negara-negara Jerman semasa Kekaisaran Romawi Suci.
Surutnya Napoleon
Inggris tetap merupakan musuh utama. Meskipun Napoleon mampu memangkas semua perdagangan Inggris dengan Eropa daratan, ia tidak pernah mampu untuk menghentikannya secara total. Tahun 1810, ketika pasukan Rusia menolak untuk bergabung dengan pemblokiran yang ia lakukan, ia memutuskan untuk menyerbu Rusia. Ia betul-betul berupaya merebut Moskwa pada bulan September 1812, namun setelah cuaca musim dingin yang menusuk tulang mengancam pemasokan bahan makanan, ia terpaksa mundur. Malapetaka yang dialami pasukan Napoleon merupakan permulaan dari akhir pemerintahan Napoleon yang kuat. Sekutu-sekutunya maupun negara-negara yang menjadi bagian dari kekuasaannya mulai bangkit memberontak. Ia dipaksa untuk menarik diri dari Austria dan Jerman, dan kekaisarannya pun tumbang. Tanggal 11 April 1814, ia turun takhta dan dipaksa untuk tinggal dalam pembuangan di Pulau Elba. Kaisar yang dulu pernah memerintah sebagian besar Eropa sekarang dipaksa untuk menjadi penghuni sebuah pulau kecil yang berbatu-batu.
Walaupun begitu, sumbangsih terbesar Napoleon adalah Kode Napoleon, sebuah struktur modern untuk hukum-hukum sipil yang tetap menjadi dasar hukum Prancis sampai hari ini.
Kebangkitan Kembali Napoleon
Setelah mengalami kejayaan salama lebih dari satu dekade, jatuhnya Kekaisaran Prancis dan pembuangan Napoleon pada tahun 1814 membuat Prancis berada dalam keadaan kisruh seperti kondisi yang dialami semasa revolusi. Yang menajubkan, pada kondisi ini monarki Bourbon dipulihkan, namun Raja Louis XVIII hanya memerintah selama 10 bulan.
Semasa dalam pembuangan, Napoleon merasa resah, dan kembali ke Prancis. Ia disambut di Paris dengan tangan terbuka, sebagian besar disebabkan oleh nostalgia, sebab ia melambangkan masa lalu Prancis yang jaya. Sejak 10 Maret 1815, selama 100 hari yang singkat, rakyat Prancis tampak memutar jam kembali ke satu abad sebelumnya.
Akan tetapi, pesaing-pesaing lamanya, terutama Inggris, tidak semuanya merasa senang bahwa Napoleon kembali menduduki takhta. Napoleon tahu bahwa ia akan segera diserang dan bahwa ia harus bergerak cepat seandainya ia ingin memulihkan kekaisarannya. Ia harus mengambil langkah untung-untungan bahwa sebuah kemenangan besar akan membuat negara-negara di Eropa runtuh seperti sederet kartu domino.
Pertempuran Terakhir Napoleon
Sebuah kekuatan yang terdiri dari Inggris, Prusia, dan Belanda yang dikomandani oleh seorang jenderal Prusia yang bernama Gebhart Leberecht von Blücher (1742-1819) dan seorang jenderal Inggris, Arthur Wellesley, Duke of Wellington (1769-1852), sudah berkumpul di Belgia. Awalnya, semua berlangsung baik bagi Napoleon. Pasukanya yang besar dan diperlengkapi persenjataan canggih menimbulkan keretakan antara Jenderal von Blücher dan Duke of Wellington, dan mengalahkan pasukan Prusia di Ligny, pada tanggal 16 Juli 1815. Pasukan Inggris mundur ke sebuah desa kecil di persimpangan jalan yang bernama Waterloo, di mana Napoleon ditangkap bersama mereka pada tanggal 17 Juli. Napoleon bersiap-siap untuk menyerang Duke of Wellington pada tanggal 18 Juli, namun hujan yang turun malam sebelumnya mempersulit meriam-meriamnya untuk bergerak sebagaimana seharusnya. Akhirnya Napoleon menyerang pada pukul 11 pagi dan pertempuran itu berkobar selama 10 jam. Sisa pasukan Jenderal von Blücher bergabung dengan Duke of Wellington pada sore harinya, dan ini berguna untuk mengubah kedudukan. Esok paginya, 19 Juli, pasukan Prancis dikalahkan, dan 50.000 prajurit tewas dan sekarat hampir mati. Napoleon sendiri mundur ke Paris, di mana ia turun takhta, untuk kedua kalinya, empat hari kemudian. Ia menyerah kepada pasukan Inggris dan dibawa ke Pulau St. Helena di Samudera Atlantik Selatan di mana ia menetap sampai meninggal dunia akibat penyakit kanker, 8 Mei 1821.
Waterloo menjadi salah satu titik balik besar dalam sejarah Eropa, karena seandainya Napoleon menang, ia memiliki kesempatan yang baik untuk mendirikan kembali kekaisarannya dan, sekali lagi, menjadikan Prancis sebuah negara yang dominan di Eropa—dan boleh jadi di dunia—sepanjang sisa abad ke-19.
Sebagaimana yang pernah terjadi, Prancis tidak akan pernah mendapatkan kembali kekuasaan serta pengaruh yang telah dinikmati di bawah pemerintahan Napoleon. Ia sudah membuat Kekaisaran Prancis kalah di Eropa dan bahkan ia telah menjual sebuah wilayah yang lebih luas—Louisiana—di Amerika Utara kepada Amerika Serikat. Waterloo menandai dari Pax Britannica, sebuah periode yang berlangsung selama lebih dari satu abad di mana Inggris memerintah sebagai negara adidaya nomor satu di dunia.

0 komentar:

Post a Comment