Persyaratan
keras yang diberlakukan pada Jerman oleh pihak sekutu dalam Perjanjian
Versailles pada akhir Perang Dunia I menciptakan sebuah situasi yang amat sulit
dan suasana hati yang sangat putus asa di kalangan rakyat Jerman. Kaiser Wilhelm
II (1859-1941) turun takhta pada tahun 1918, meniggalkan Jerman tanpa pemimpin.
Selanjutnya, kekosongan ini diisi oleh sebuah republik yang lemah di bawah
Konstitusi Weimar tahun 1919. Dikondisikan untuk diperintah oleh sebuah monarki
yang kuat, harapan rakyat Jerman dipatahkan oleh Republik Weimar yang tampaknya
tidak efektif, yang mereka lihat sebagai sesuatu yang wajib mereka terima
sebagai akibat kekalahan mereka di medan perang.
Dengan
latar belakang ini, banyak sempalan partai politik muncul dan mulai
memanfaatkan ketidakpuasan yang sudah berakar itu. Sempalan-sempalan tersebut
mencakup pangikut paham sosialisme, komunisme, dan sebuah kelompok yang
menamakan dirinya National Sozialische Deutsche Arbeiterpartei/Partai Pekerja
Nasional Sosialis Jerman (NSDAP), atau Partai Nazi. Anggota partai-partai ini
mempercayai bahwa Jerman akan menjadi kuat apabila menerapkan pemerintahan
sentralisasi yang menggunakan posisinya untuk mendominasi negara-negara Eropa.
Partai ini memimpikan bahwa dengan pemerintahan serupa itu, Jerman akan
berperan seperti Kekaisaran Romawi ketika Otto I memerintah pada abad ke-10
atau Kekaisaran Jerman Kedua yang didirikan oleh Otto von Bismarck pada abad
ke-19.
Banyak
pemimpin dan visioner di lingkaran kekuasaan tinggi dalam partai Nazi itu,
namun orang yang pada hakikatnya menjadi sorotan yang sangat kuat sebagai
pemimpin partai adalah seorang Austria yang ulung bernama Adolf Hitler
(1889-1945). Hitler bergabung dengan pasukan Jerman dalam Perang Dunia I dan
kemudian ia menetap di Munich. Di sana ia menjadi sangat terpikat dengan konsep
nasionalisme Jerman, terpesona pada doktrin superioritas rasial yang memandang
orang Yahudi dan kelompok minoritas lain sebagai manusia yang berharkat rendah.
Ia sudah berperan dalam mendirikan Partai Nazi dan dipenjara pada tahun 1923
setelah sebuah kegagalan Nazi dalam menggulingkan pemerintahan negara bagian
Bayern (Bavaria). Tatkala meringkuk dalam penjara, ia memformulasikan sebuah
rencana untuk merebut kekuasaan bukan hanya di Bavaria, namun juga di seluruh
Jerman.
Perlahan-lahan,
Nazi mendapat pengakuan sebagai sebagai sebuah partai politik yang sah dan
Hitler, yang adalah seorang orator yang cemerlang, mulai menghimpun dukungan
dari kalangan luas. Menjelang tahun 1933, Partai Nazi begitu kuat sehingga
Presiden Paul von Hindenberg (1847-1934) dipaksa untuk menunjuk Hitler sebagai
kanselir Jerman. Dengan gesit Hitler mulai memecat Hindenberg dan menjalankan
tugasnya dengan cara diktator. Ia mulai menentang ketetapan-ketetapan yang
dituangkan dalam Perjanjian Versailler dengan cara mempersenjatai lagi dan
memperbesar militer Jerman yang sudah banyak dikurangi. Selain itu, ia juga
meneguhkan kembali kepentingan-kepentingan teritorial Jerman di Eropa.
Sebuah
elemen dari Perjanjian Versailles adalah de-militerisasi Rheinland di tenggara
Jerman, sebuah persyaratan yang dilihat oleh pihak Jerman sebagai pelanggaran
nyata terhadap kedaulatan mereka. Pada tanggal 7 Maret 1936, Hitler secara
terbuka menentang perjanjian tersebut dengan mengirimkan pasukan-pasukan Jerman
di Rheinland.
Seandainya
Prancis atau Inggris Raya bertindak terhadap pelanggaran perjanjian terkait,
Hitler tentunya tidak punya pilihan selain menarik diri dan boleh jadi mundur,
karena pada waktu itu pasukannya masih
sangat lemah. Akan tetapi, karena Inggris Raya sangat ingin menghindari perang,
langkah Hitler tidak mendapat perlawanan. Keberhasilan Hitler di Rheinland
menghasilkan militer Jerman yang dipersenjatai kembali, yang membuatnya menjadi
kekuatan militer nomor satu di dunia. Inilah cikal-bakal dari pecahnya Perang
Dunia II.
0 komentar:
Post a Comment