Sejak Magna Carta sampai Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat, persoalan-persoalan mengenai kebebasan perorangan, usulan untuk
mendapatkan hak-hak serta kemerdekaan setiap manusia sudah menjadi penyebab
pertikaian utama di lingkungan bangsa-bangsa di Eropa dan akhirnya di Amerika
Utara. Perlahan-lahan, kekuasaan raja dan ratu sedang dikompromikan, dan
hak-hak orang kebanyakan sedang diakui. Inggris mendirikan sebuah kerajaan yang
konstitusional dengan sebuah Parlemen terpilih, dan menjelang akhir abad ke-18
baik di Amerika Serikat dan Prancis berdiri sebuah republik yang mandiri.
Demokrasi tampak mulai bangkit. Manusia sudah diberi hak untuk memberikan
suaranya dan mereka menggunakan hak tersebut.
Pada waktu itu, semua hak demokratis yang diperoleh
dengan sulit yang sedang diberikan hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
Seakan-akan, perempuan tidak penting, atau yang lebih buruk, bahwa mereka
semata-mata merupakan hak milik laki-laki. Teori konvensional yang beredar di
Eropa—dan bahkan di banyak bagian dari dunia ini—berbunyi bahwa “tempat
perempuan adalah di rumah” dan tidak di dalam ruang-ruang kehidupan publik atau
di mana kebijakan publik diberlakukan secara hukum.
Sebelum abad ke18 berakhir, timbul kesadaran yang
semakin meningkat bahwa ada ketidakadilan sedemikian rupa sehingga, dari segi
hukum, perempuan tidak dianggap setara dengan laki-laki. Tahun 1789 di Prancis,
Olympe de Gouges menerbitkan Declaration of the Rights of Woman, suatu reaksi
terhadap apa yang dianggap telah dihilangkan dari Declaration of the Rights
of Man yang didesakkan oleh para revolusioner Revolusi Prancis. Sebuah
petisi yang disodorkan kepada Dewan Nasional Prancis bahwa perempuan seharusnya
mendapat hak pilih pada tahun yang sama ditolak, dan faktanya, kitab
undang-undang yang diumumkan dengan resmi di bawah pemerintahan Napoleon
Bonaparte (1769-1821) mengabaikan kaum perempuan Prancis untuk memiliki banyak
hak yang sebelumnya mereka nikmati.
Pada waktu yang bersamaan, seorang pramusiwi
berkebangsaan Inggris yang bernama Mary Wollstonecraft (1759-1797), yang
diilhami oleh Revolusi Prancis dan protes Olympe de Gouges, menerbitkan A
Vindication of the Rights of Women, yang tetap menjadi naskah penting dalam
gerakan hak-hak perempuan. Nona Wollstonecraft memercayai bahwa gadis-gadis dan
perempuran dewasa harus mendapat pendidikan yang setara, bahwa mereka harus
diizinkan untuk memiliki perkerjaan selain sebagai pembantu rumah tangga dan
pramusiwi, dan bahwa mereka harus diizinkan untuk menjadi dokter dan memiliki
bisnis sendiri. Hak-hak perempuan, yang sudah lama diingkari, menjadi persoalan
yang hangat dibicarakan, sebuah masalah yang tidak akan berlalu.
Kemajuan berjalan lambat pada abad ke-19, meskipun
perempuan diberi jalan masuk yang lebih besar ke dalam dunia pendidikan. Di
Amerika Serikat, Susan B. Anthony (1820-1906) adalah seorang pemimpin gerakan
anti-perbudakan dan gerakan hak pilih perempuan. Walaupun demikian, belum
sampai abad ke-20, perempuan sudah boleh menggunakan salah satu hak yang paling
mendasar dalam masyarakat yang demokratis: hak untuk memberikan suara.
Perempuan Australia memperoleh haknya pada tahun 1902, perempuan Inggris tahun
1918, dan perempuan Amerika Serikat, melalui Amandemen Kesembilan Belas atas
Undang-undang Dasar Amerika Serikat, 26 Agustus 1920, meskipun Wilayah Wyoming
sudah mengesahkan hukum hak pilih perempuan pada tahun 1869. Perempuan Prancis
akhirnya diberi hak untuk memilih pada tahun 1945.
0 komentar:
Post a Comment