Perdagangan dengan Cina
menguntungkan. Namun, pemerintah Cina tidak menginginkan masuknya pengaruh
“orang barbar”. Pedagang Eropa harus mencari jalan lain untuk berdagang.
Sepanjang abad ke-18,
sutera, katun, teh, pernis, dan porselen Cina sangat dihargai di Eropa, tetapi
berharga mahal dan persediannya terbatas. Para pedagang Portugis, Inggris,
Italia, dan Belanda berusaha memperluas perdagangan dengan Cina. Namun, para
kaisar Cina yang mengontrol semua kontak antara rakyat dan orang asing tidak
tertarik untuk membentuk hubungan. Qianlong (1711-1795), yang berkuasa selama
60 tahun, sejak 1735, adalah seorang filsuf-kaisar yang mendukung kesenian,
penulisan puisi, dan mendirikan perpustakaan, tidak mau berhubungan dengan
“orang barbar”. Persoalan bagi orang Eropa adalah mereka harus membayar semua
barang dengan perak karena pedagang Cina tidak diperkenankan menukar barang
asing dengan barang buatan Cina. Selain itu, orang Eropa hanya diizinkan
berdagang di Guangzhou (Canton), di mana mereka dibatasi di gedung berbenteng,
dan berdagang melalui perantara Cina. Para pedagang Eropa saling bersaing.
Mereka berusaha mendapat barang terbaik Cina dan mengirimnya ke Eropa secepat
mungkin untuk mendapatkan harga tinggi.
Perdagangan Opium (Candu)
Orang Eropa kemudian mencari
cara lain untuk berdagang. Opium telah lama digunakan di Cina untuk pengobatan.
Para pedagang menjalin hubungan dengan para penjual obat Cina, menjual opium
dalam jumlah besar (5.000 barel per tahun selama 1820-an) dari negeri seperti
Burma (sekarang Myanmar). Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan barang-barang
berharga Cina untuk dijual ke Eropa. Perdagangan meningkat pesat pada akhir
abad ke-18. Pemerintah Dinasti Qing (Manchu) berusaha menghentikannya. Pada
1830-an, penggunaan opium menyebar ke seluruh Cina, membuat orang-orang menjadi
malas, merusak masyarakat dan perekonomian, serta membuat Cina mengalami
kerugian besar.
Dinasti Qing (Manchu)
Para kaisar Qing tidak
tertarik membentuk perdagangan karena mereka memiliki masalah yang lebih
mendesak di dalam negeri. Tahun-tahun perdamaian dan kemakmuran telah mendorong
peningkatan jumlah penduduk (400 juta orang pada tahun 1800) sehingga terjadi
kekurangan bahan pangan. Pajak tinggi, korupsi meningkat, sementara penduduk
berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dinasti Qing sangat
konservatif, terkucil, dan keras kepala. Akibatnya, terjadi protes dan
pemberontakan, kerap diorganisasi oleh berbagai perkumpulan rahasia yang
memiliki ambisi politik. Sekte Teratai Putih mengobarkan pemberontakan petani
yang berlangsung dari tahun 1795 hingga 1804. Pemberontakan ini menyebabkan
melemahnya rasa hormat rakyat terhadap Dinasti Qing. Sejumlah bangsa asing,
yaitu Rusia, Jepang, Tibet, dan minoritas lainnya, serta orang Eropa di atas
kapal layar cepat dan kapal meriam mereka, juga menggerogoti Cina.
Camput Tangan Orang Cina
Para kaisar Qing dibesarkan
dengan keyakinan bahwa Cina adalah pusat dunia. Mereka melukiskan negeri mereka
sebagai “Kerajaan Tengah, yang dikelilingi oleh bangsa-bangsa barbar”. Ketika
seorang Duta Besar Inggris, Lord Macartney, pergi ke Beijing pada tahun 1793,
Kaisar Qianlong menolak membahas perdagangan. Sejak itu, orang asing memutuskan
untuk mencapai tujuan dengan cara lain. Perdagangan opium pun ditingkatkan.
Pada tahun 1800, banyak orang Cina menghadapi kesulitan dalam segala segi
kehidupan. Mereka mengisap opium seperi mengisap tembakau sebagai tempat
pelarian. Ketika orang Cina berusaha menghentikan perdagangan opium pada tahun
1839, Inggris melawannya. Bahkan, kontrol Cina atas pasokan teh dunia mulai
mendekati akhir. Selama era 1830-an, orang Inggris bernama Robert Fortune
mencuri beberapa tanaman teh ketika mengunjungi Cina. Ia membawanya ke India dan
mendirikan perkebunan teh di sana untuk menyaingi perkebunan teh di Cina.
0 komentar:
Post a Comment