Pada awal abad ke-18,
kesengsaraan orang Skotlandia mendorong klaim keluarga Stuart atas takhta
Inggris, memicu pecahnya dua pemberontakan orang Skotlandia.
Ketika Raja James II wafat
pada 1688, keluarga Stuart kehilangan cengkraman atas takhta Inggris. Penduduk
pegunungan Skotlandia menginginkan seorang Raja Skotlandia. Sementara itu,
orang Inggris dengan sengaja berusaha menghancurkan sistem klan penduduk
pegunungan, menuntut para laird (kepala
klan) untuk berada jauh dari rumah mereka di Edinburg atau London. Akibatnya,
para laird memerlukan lebih banyak
uang sehingga mereka menaikkan sewa dan mulai mengusir penduduk. Ikatan
kekeluargaan di berbagai klan hancur, dan anggota klan menjadi penyewa, tanpa
hak sebagai anggota klan.
Di Inggris, Ratu Anne wafat
pada 1714. Sepupunya, George dari Hanover (Jerman) menjadi raja baru. George
adalah buyut James I dari Inggris yang Protestan, tetapi ia orang asing.
Beberapa pihak merasa James Stuart yang berdarah Skotlandia memiliki hak lebih
besar. Ia bukan hanya anggota keluarga Stuart, tetapi juga seorang Katolik.
Selain itu, banyak orang Skotlandia tidak senang karena negeri mereka disatukan
dengan Inggris untuk membentuk United Kingdom (Kerajaan Bersatu) pada 1707. Kaum
Yakobit menyerbu Inggris pada 1715, tetapi dikalahkan di Preston, Lancashire.
Kaum Yakobit mendukung James
Stuart. Mereka merencanakan pemberontakan di Inggris dari Skotlandia, tetapi
gagal. James Stuart kembali dari Prancis, tetapi terlambat: 26 prajurit dihukum
mati dan 700 lainnya dikirim ke Hindia Barat sebagai hukuman. Pada 1745,
terjadi pemberontakan lainnya. Anak James, Charles Edward Stuart, yang dikenal
sebagai “Bonnie Prince Charlie”, secara diam-diam mendarat di barat-laut
Skotlandia dan memimpin pemberontakan ’45. Setelah menaklukkan Skotlandia,
tentaranya menyerbu Inggris. Mereka mencapai Derby, tetapi tidak dapat bergerak
lebih ke selatan. Pada 1746, kaum Yakobit dikalahkan dalam pertempuran di
Culledon.
Bonnie Prince Charlie
melarikan diri, kembali ke Prancis dengan menyamar. Inggris menguasai Dataran
Tinggi, dan pembalasan mereka secara kejam. Para laird Dataran Tinggi dihukum mati dan anggota klan dilarang
mengenakan kilt (rok Skotlandia)
maupun memainkan bagpipes (alat musik
tradisional Skotlandia). Selama bertahun-tahun, tanah klan secara paksa
dikosongkan dari penghuni untuk dijadikan lahan merumput bagi kawanan domba,
guna memperoleh uang dengan memasok wol ke Inggris. Anggota klan dikirim untuk
tinggal di sejumlah kota, Ulster atau wilayah koloni.
0 komentar:
Post a Comment